Kalian Bukan Mesin | Cerpen

KALIAN BUKAN MESIN

Oleh: Agis Sofyan Nulhakim

“Baca dulu halaman 35-43! Jangan lupa untuk dipahami, nanti kalian presentasikan!” begitulah kira-kira Guru bahasa yang mengajar di Sekolahku, kami dituntut untuk melakukan segala hal yang disuruh oleh Guru. Tidak bisa berkarya, tidak bisa kreatif, tidak bisa berargumen. Untuk apa kami sekolah kalau ternyata seperti ini. Tugas, tugas dan tugas terus. Padahal kami masuk jam tujuh pulang jam empat sore. Jiwa dan raga kami lelah, tapi mereka selalu memaksa. 

Masih ingat di benakku betapa bahagianya Aku bisa masuk SMK favorit, rasa bangga dan bahagia terpancar dari air mataku yang terus mengalir karena sungguh kerja kerasku di SMP tidak menghianatiku. Orang tuaku pun sepertinya bangga, mereka seolah-olah melihat masa depanku yang cerah. Tidak bermaksud menyombongkan diri, Aku tulis di seluruh sosial mediaku bahwa Aku masuk SMK favorit, semua itu bentuk hanyalah bentuk bersyukur.

Hari demi hari kulewati, mulai dari masa orientasi Aku lalui dengan senang dan bahagia. Teman-temanku juga luar biasa, sepertinya mereka memang orang-orang terpilih, memiliki misi dan visi yang sangat visioner, tidak ada keluh kesah yang terpancar dari perilaku dan ucapan mereka, hebat. Ketika pulang selalu Aku ceritakan ke Papa dan Mamaku, mereka tersenyum dan membuatku terharu. 

Akhirnya Aku merasakan hari pertama belajar dengan Guru-guru yang hebat itu. Terlihat pakaiannya rapi, wangi, berwibawa, cara berbicara yang hebat tanpa tergesa-gesa. Apa pun yang diucapkannya mudah sekali dimengerti. Aku berpikir “Pak! Anda yang akan menentukan masa depanku, berikan kami ilmu yang banyak dan bermanfaat.” 

Semua guru sudah memberi ajaran dan didikannya kepada kami, berhari-hari kulalui sampai akhirnya jenuh juga untuk belajar. Setiap hari sepertinya begitu-begitu saja. Ceramah lagi, ceramah lagi, diskusi lagi diskusi lagi. Sepertinya sudah tidak menarik lagi untuk diikuti. Aku yakin, bukan aku saja yang merasakan itu tapi mereka pun pasti begitu. Sesekali saat istirahat di kantin kami membicarakan Guru-guru itu, yang baik di awalnya saja tapi semakin kesini semakin tidak jelas. 

Prinsip-prinsip pendidikan jadul akhirnya muncul. Suruhan muncul setiap hari tanpa memberikan arahan. Emosi dan amarah guru-guru itu datang setiap waktu. Kalau Cuma baca-baca saja tidak perlu disuruh pun Aku bisa, tanpa perlu ke Sekolah pun Aku bisa. Kalau mereka menyuruh kami cari materi dari internet, untuk apa kami harus datang ke Sekolah pagi dan pulang sore. Lelah untuk hal-hal yang mainstream di Sekolah. Kami anak milenial ingin belajar dengan cara-cara kekinian.  

Selesai belajar tentu cara mengukur kemampuan kami adalah dengan cara ujian. Tapi rasanya muak dengan ujian-ujian itu. Semuanya tentang sebutkan, semua tentang bagaimana, harus textbook. Beda sedikit dengan buku langsung salah. Saat diumumkan nilainya, itulah saat Aku muak. Mereka mengumumkan sambil mempermalukan. 

“Mana Karina? Nilai kamu 30! Sekolah ga bener, di Rumah pasti main, masa depan kamu suram” 

“Ridho? Nilai kamu 25! Laki-laki itu pekerja keras, tapi kamu lembek! Bagaimana mau menghadapi masa depan yang keras!

“Onsu? Sini ke Depan!” tiba-tiba Guru itu menempelkan dengan keras lembar jawaban ke dahi Onsu. 

“Nih nilai kamu 0! Selama bapak ngajar, kamu ngapain saja sih selama bapak ngajar?” 

“Hahaha ini tahun 2019 loh, masih saja seperti itu cara mengajarmu!” kalimat itu yang terucap di hatiku, tapi Aku masih punya sopan santun jadi tidak mengatakannya kepada Guruku.  

Aku hanya bisa menerima keadaan ini dengan lapang dada, karena jika Aku mengatakannya pada orang tuaku, jawabannya sama saja. Mereka mengatakan perspektif orang-orang itu berbeda, kamu hanya harus berpikir positif untuk masa depanmu. 

Begitulah kira-kira perjalanan mencari ilmu di Sekolah favorit ini, penuh dengan aturan, suruhan, kekangan, amarah dan segala macam yang Aku tidak suka.

Kini, semester 1 sudah kulewati, ujian akhir semester kulalui, rapor dibagikan. Dengan seluruh kerja kerasku dan rasa menerima keadaan. Aku melihat raporku yang bagus dan tidak disangka ranking pertama. Ketika Aku berikan ke Orang tuaku, mengapa mereka menangis, padahal bagiku ini biasa saja. 

“Udahlah mah, pah, tanda tangan saja di raporku!” ucapku sambil bernada lurus.

“Terima kasih nak! Papa bangga sama kamu!”

“Terima kasih! Mama sayang sama kamu!”

Tiba-tiba hatiku terketuk, mengapa mereka yang menyekolahkanku, mereka yang memberikan biaya bagiku, menyiapkan segalanya untukku tapi mereka yang berterima kasih kepadaku. Akhirnya hatiku terketuk, air mataku tiba-tiba keluar deras dari mataku. Sambil Aku peluk mereka. 

“Papah, Mama maafkan Aku sudah menjadi anak yang selalu membangkang. Aku selalu tidak bersyukur atas semua yang Aku punya! Aku tidak bisa membahagiakan papah dan mama dengan kelakuanku di rumah! Maafkan aku sekali lagi” Ucapku sambil menangis dan memeluk orang tuaku.

Sambil kembali ke kamarku, termenung tujuan jangka pendek sekolah itu untuk membahagiakan orang-orang di sekitar kita khususnya orang tua.

Maka di penghujung waktu ini aku ingin mengatakan sesuatu kepada teman temanku, jika selama kita belajar di Sekolah muncul rasa kecewa, rasa malas, rasa tidak suka, rasa marah dan merasa semua tidak cocok dengan kamu. Maka selamat kamu bukanlah mesin. Karena kamu masih punya perasaan.

Kita memang sudah bukan zamannya lagi belajar sambil disuruh suruh, mencatat hal-hal yang ada di buku, mendengarkan ceramah berjam jam, menerima hukuman kekerasan jika bersalah, harus selalu textbook dalam ujian. Maka berontak saja! Kita bukan robot yang hanya bisa disuruh suruh, bukan tukang yang harus selalu terkekang. 

Dan saya sedang berbahagia ketika melihat di ujung tahun ini Menteri Pendidikan yang baru membuat sebuah gebrakan yang out the box demi memajukan pendidikan di Indonesia. Sebagai siswa saya berharap belajar itu menyenangkan, aku mendapatkan kemampuan baru setelah lulus dari sekolahku. Tapi itu terlalu kejauhan. Sebelum aku memikirkan pendidikan di Indonesia harusnya aku pikirkan diri Aku sendiri. Maka aku akan perbaiki dulu hal-hal kecil yang ada pada diriku. Resolusiku untuk tahun depan hanyalah ingin membahagiakan orang tua.


Kalian Bukan Mesin | Cerpen Kalian Bukan Mesin | Cerpen Reviewed by Agis Sofyan Nulhakim on 17.38 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.